Tabarruj secara bahasa adalah
wanita menampakkan perhiasan dan kecantikannya kepada laki-laki. Di dalam Lisân
al-‘Arab dikatakan: (dan at-tabarruj: menampakkan perhiasan kepada manusia
asing dan tabarruj itu tercela. Sedangkan kepada suami maka tidak). Dan di
dalam al-Qâmûs al-Muhîth dikatakan: (dia –perempuan- bertabarruj: dia
-perempuan- menampakkan perhiasannya kepada laki-laki). Di dalamMukhtâr
ash-Shihâh dikatakan: (dan at-tabarruj: wanita menampakkan perhiasannya dan
kecantikannya kepada laki-laki…). Dan di dalam Maqâyîs al-Lughah dikatakan:
[(baraja) al-bâ’ wa ar-râ’ wa al-jîm punya dua asal: salah satunya al-burûj dan
azh-zhuhûr…, dan darinya at-tabarruj, yaitu wanita menampakkan
kecantikan-kecantikannya). Dan dari kata izhhâr (menampakkan) dan dari kata
al-burûz wa azh-zhuhûrdipahami bahwa keadaan perhiasan itu menarik pandangan
seakan-akan ia –perempuan- menonjolkannya untuk laki-laki. Dan makna syar’iy
tidak berbeda dengan yang demikian. Allah SWT berfirman:
﴿وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ﴾
“Dan janganlah mereka memukulkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (TQS an-Nur [24]:
31)
Jadi janganlah seorang wanita
menggerakkan kakinya dengan keras terhadap tanah sementara dia berjalan supaya
keluar suara dari gelang kaki sehingga laki-laki tahu bahwa wanita tersebut
memakai perhiasan di pergelangan kakinya di bawah pakaian. Semua ini berarti
bahwa tabarruj itu secara bahasa dan syar’iy adalah perhiasan yang menarik
pandangan/perhatian.
Dengan menerapkan makna ini
terhadap pakaian celana panjang (pantalon) di kehidupan khusus di depan kerabat
yang bukan mahram ketika mereka datang ke rumah sebagai bentuk shilaturrahim
seperti mengucapkan selamat kepada kerabat mereka pada kondisi-kondisi yang
dibenarkan oleh syara’ semisal hari raya… Jika pakaian itu tanpa gamis panjang
di atasnya yang menutupi celah (selangkangan) celana di atas kedua paha, maka
hal itu menarik pandangan (perhatian). Seorang wanita yang mengenakan celana
panjang dan celah (selangkangan) atasnya di atas kedua paha tampak maka itu
menarik pandangan (perhatian). Sedangkan jika ada gamis yang menutupi celah
(selangkangan) atas dari celana di atas kedua paha dan semacam itu maka tidak
menarik pandangan (perhatian) kecuali pada kondisi yang tidak biasa.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
”Hendaklah kalian (para wanita)
tetap di rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dan seperti tabarruj
orang-orang Jahiliyah yang dahulu…” (QS. Al-Ahzab: 33)
Berdasarkan keterangan di atas maka segala upaya wanita
menampakkan kecantikannya di depan lelaki lain yang bukan mahram, termasuk
bentuk tabarruj yang dilarang dalam ayat di atas. Karena itu, memakai pakaian
ketat, pakaian transparan, atau menutup sebagian aurat, namun aurat lainnya
masih terbuka, atau obral make up ketika keluar rumah, semuanya termasuk bentuk
tabarruj yang dilarang dalam syariat. Kecantikan wanita bukan untuk diumbar,
sehingga dinikmati banyak mata lelaki jelalatan, namun kecantikan menjadi hak
suami, sang imam bagi istrinya.
Namun sangat disesalkan kenyataan
yang kita dapatkan di sekitar kita. Berseliwerannya wanita dengan dandanan
aduhai, ditambah wangi yang semerbak di jalan-jalan dan pusat keramaian, sudah
dianggap sesuatu yang lazim di negeri ini. Bahkan kita akan dianggap aneh
ketika mengingkarinya.
Tidak usahlah kita membicarakan
para wanita yang berpakaian “telanjang” di jalan-jalan, karena keadaan mereka
sudah sangat parah, membuat orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan hari akhir bergidik dan terus beristighfar. Cukup yang kita tuju para
muslimah yang masih punya kesadaran berislam walaupun mungkin setipis kulit
ari, hingga mereka menutup rambut mereka dengan kerudung dan membalut tubuh
mereka dengan pakaian sampai mata kaki dengan berbagai model. Sangat disesalkan
para muslimah yang berkerudung ini ikut berlomba-lomba memperindah
penampilannya di depan umum dengan model ‘busana muslimah’ terkini dan kerudung
‘gaul’ yang penuh pernak-pernik, pendek, dan transparan.
Sehingga, berbusana yang
sejatinya bertujuan menutup aurat dan keindahan seorang muslimah di hadapan
lelaki selain mahramnya, malah justru menonjolkan keindahan. Belum lagi wajah
dan bibir yang dipoles warna-warni. Tangan yang dihiasi gelang, jari-jemari
yang diperindah dengan cincin-cincin, dan parfum yang dioleskan ke tubuh dan
pakaian. Semuanya dipersembahkan di hadapan umum, seolah si wanita berkata,
“Lihatlah aku, pandangilah aku…”. Wallahul musta’an.
Semua ini jelas merupakan
perbuatan tabarruj yang dilarang dalam Al-Qur`anul Karim. Namun betapa jauhnya
manusia dari bimbingan Al-Qur`an!!! Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang para
wanita bertabarruj. Namun mereka justru bangga melakukannya, mungkin karena
ketidaktahuan atau memang tidak mau tahu.
Bisa jadi ada yang menganggap
bahwa larangan tabarruj ini hanya ditujukan kepada istri-istri Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam karena mereka yang menjadi sasaran pembicaraan dalam ayat 33
dari surat Al-Ahzab di atas. Jawabannya sederhana saja. Bila wanita-wanita
shalihah, wanita-wanita yang diberitakan nantinya akan tetap mendampingi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga, para Ummahatul Mukminin yang
suci itu dilarang ber-tabarruj sementara mereka jauh sekali dari perbuatan
demikian, apatah lagi wanita-wanita selain mereka yang hatinya dipenuhi syahwat
dunia. Siapakah yang lebih suci, istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ataukah mereka? Bila istri-istri Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang merupakan cerminan shalihah bagi wanita-wanita yang bertakwa itu
diperintah untuk menjaga diri, jangan sampai jatuh ke dalam fitnah4 dan membuat
fitnah, apalagi wanita-wanita yang lain.
Kalau ada yang menganggap
larangan tabarruj itu hukumnya khusus bagi istri-istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam karena mereka adalah pendamping manusia pilihan, kekasih
Allah Subhanahu wa Ta’ala, sementara wanita-wanita selain mereka tidak memiliki
keistimewaan demikian, maka kita tanyakan: Dari sisi mana penetapan hukum
khusus tersebut, sementara alasan dilarangnya tabarruj karena akan menimbulkan
fitnah bagi laki-laki?
Laki-laki yang memang diciptakan
punya ketertarikan terhadap wanita, tentunya akan tergoda melihat si wanita
keluar dengan keindahannya. Bila tidak ada iman yang menahannya dari kenistaan,
niscaya ia akan berpikir macam-macam yang pada akhirnya akan menyeretnya dan
menyeret si wanita pada kekejian. Bila tabarruj dilarang karena alasan seperti
ini, lalu apa manfaatnya hukum larangan tersebut hanya khusus bagi para istri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah bisa diterima kalau dikatakan
para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang tabarruj karena mereka
wanita mulia yang harus dijaga, tidak boleh menimbulkan fitnah, sementara
wanita selain mereka tidak perlu dijaga dan kalaupun bertabarruj tidak akan
membuat fitnah? Di manakah orang-orang yang katanya berakal itu meletakkan
pikirannya? Wallahul musta’an.
Al-Imam Abu Bakr Ahmad bin ‘Ali
Ar-Razi Al-Jashshash rahimahullahu menyatakan bahwa beberapa perkara yang
disebutkan dalam ayat ini (Al-Ahzab: 33) dan ayat-ayat sebelumnya merupakan
pengajaran adab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap istri-istri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjagaan terhadap mereka dan seluruh
wanitanya kaum mukminin juga dituju oleh ayat-ayat ini7. (Ahkamul Qur`an,
3/471)
Surat An-Nur ayat 60 juga menunjukkan bahwa larangan tabarruj
tidak hanya khusus bagi ummahatul mukminin, namun berlaku umum bagi seluruh
mukminah. Bila wanita yang sudah tua dan sudah mengalami menopause saja
dilarang tabarruj sebagaimana dalam ayat:
غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ
“Dengan tidak bermaksud tabarruj
dengan perhiasan yang dikenakan…” (An-Nur: 60)
tentunya larangan kepada wanita yang masih muda lebih utama
lagi.
Wanita yang keluar rumah dengan tabarruj hendaknya
berhati-hati dengan ancaman yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya berikut ini:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ
بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ
كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا
وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk
neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki
cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua:
para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi
menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta
yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium
wanginya surga padahal wanginya surga sudah tercium dari jarak perjalanan
sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)
Kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu:
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencirikan wanita ahlun nar itu dengan (كَاسِيَاتٌ) maksudnya mereka
mengenakan pakaian, akan tetapi mereka itu (َعَارِيَاتٌ) “telanjang”,
karena pakaian yang mereka kenakan tidaklah menutupi aurat mereka dengan
semestinya. Bisa jadi karena pakaian itu tipis, ketat, atau pendek. Mereka itu مَائِلاَتٌ
menyimpang dari jalan yang benar, مُمِيْلاَتٌ menyimpangkan orang lain dari
kebenaran karena fitnah yang dimunculkan dari mereka.
رُؤُوسُهُنَّ
كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ “rambut/kepala mereka seperti punuk
unta yang miring”, karena rambut mereka ditinggikan hingga menyerupai punuk
unta yang miring.” (Taujihat lil Mu`minat Haulat Tabarruj was Sufur, hal. 18)
Kedua golongan di atas belum ada
di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun sekarang telah kita
dapatkan. Hal ini termasuk mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
di mana apa yang beliau kabarkan pasti terjadi. (Al-Minhaj, 14/336)
Yang perlu diingat, tidaklah satu
dosa diancam dengan keras melainkan menunjukkan bahwa dosa tersebut termasuk
dosa besar. Sementara wanita yang keluar rumah dengan berpakaian namun
hakikatnya telanjang, yang bertabarruj, berjalan berlenggak lenggok di hadapan
kaum lelaki hingga menjatuhkan mereka ke dalam fitnah, dinyatakan tidak akan
masuk surga dan tidak akan mencium bau surga.