Selasa, 02 Juni 2015

Ketidak benaran Tabarruj Menjadi Kebenaran

Tabarruj secara bahasa adalah wanita menampakkan perhiasan dan kecantikannya kepada laki-laki. Di dalam Lisân al-‘Arab dikatakan: (dan at-tabarruj: menampakkan perhiasan kepada manusia asing dan tabarruj itu tercela. Sedangkan kepada suami maka tidak). Dan di dalam al-Qâmûs al-Muhîth dikatakan: (dia –perempuan- bertabarruj: dia -perempuan- menampakkan perhiasannya kepada laki-laki). Di dalamMukhtâr ash-Shihâh dikatakan: (dan at-tabarruj: wanita menampakkan perhiasannya dan kecantikannya kepada laki-laki…). Dan di dalam Maqâyîs al-Lughah dikatakan: [(baraja) al-bâ’ wa ar-râ’ wa al-jîm punya dua asal: salah satunya al-burûj dan azh-zhuhûr…, dan darinya at-tabarruj, yaitu wanita menampakkan kecantikan-kecantikannya). Dan dari kata izhhâr (menampakkan) dan dari kata al-burûz wa azh-zhuhûrdipahami bahwa keadaan perhiasan itu menarik pandangan seakan-akan ia –perempuan- menonjolkannya untuk laki-laki. Dan makna syar’iy tidak berbeda dengan yang demikian. Allah SWT berfirman:

﴿وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ﴾

Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (TQS an-Nur [24]: 31)

Jadi janganlah seorang wanita menggerakkan kakinya dengan keras terhadap tanah sementara dia berjalan supaya keluar suara dari gelang kaki sehingga laki-laki tahu bahwa wanita tersebut memakai perhiasan di pergelangan kakinya di bawah pakaian. Semua ini berarti bahwa tabarruj itu secara bahasa dan syar’iy adalah perhiasan yang menarik pandangan/perhatian.



Dengan menerapkan makna ini terhadap pakaian celana panjang (pantalon) di kehidupan khusus di depan kerabat yang bukan mahram ketika mereka datang ke rumah sebagai bentuk shilaturrahim seperti mengucapkan selamat kepada kerabat mereka pada kondisi-kondisi yang dibenarkan oleh syara’ semisal hari raya… Jika pakaian itu tanpa gamis panjang di atasnya yang menutupi celah (selangkangan) celana di atas kedua paha, maka hal itu menarik pandangan (perhatian). Seorang wanita yang mengenakan celana panjang dan celah (selangkangan) atasnya di atas kedua paha tampak maka itu menarik pandangan (perhatian). Sedangkan jika ada gamis yang menutupi celah (selangkangan) atas dari celana di atas kedua paha dan semacam itu maka tidak menarik pandangan (perhatian) kecuali pada kondisi yang tidak biasa.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dan seperti tabarruj orang-orang Jahiliyah yang dahulu…” (QS. Al-Ahzab: 33)
Berdasarkan keterangan di atas maka segala upaya wanita menampakkan kecantikannya di depan lelaki lain yang bukan mahram, termasuk bentuk tabarruj yang dilarang dalam ayat di atas. Karena itu, memakai pakaian ketat, pakaian transparan, atau menutup sebagian aurat, namun aurat lainnya masih terbuka, atau obral make up ketika keluar rumah, semuanya termasuk bentuk tabarruj yang dilarang dalam syariat. Kecantikan wanita bukan untuk diumbar, sehingga dinikmati banyak mata lelaki jelalatan, namun kecantikan menjadi hak suami, sang imam bagi istrinya.

Namun sangat disesalkan kenyataan yang kita dapatkan di sekitar kita. Berseliwerannya wanita dengan dandanan aduhai, ditambah wangi yang semerbak di jalan-jalan dan pusat keramaian, sudah dianggap sesuatu yang lazim di negeri ini. Bahkan kita akan dianggap aneh ketika mengingkarinya.

Tidak usahlah kita membicarakan para wanita yang berpakaian “telanjang” di jalan-jalan, karena keadaan mereka sudah sangat parah, membuat orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhir bergidik dan terus beristighfar. Cukup yang kita tuju para muslimah yang masih punya kesadaran berislam walaupun mungkin setipis kulit ari, hingga mereka menutup rambut mereka dengan kerudung dan membalut tubuh mereka dengan pakaian sampai mata kaki dengan berbagai model. Sangat disesalkan para muslimah yang berkerudung ini ikut berlomba-lomba memperindah penampilannya di depan umum dengan model ‘busana muslimah’ terkini dan kerudung ‘gaul’ yang penuh pernak-pernik, pendek, dan transparan.



Sehingga, berbusana yang sejatinya bertujuan menutup aurat dan keindahan seorang muslimah di hadapan lelaki selain mahramnya, malah justru menonjolkan keindahan. Belum lagi wajah dan bibir yang dipoles warna-warni. Tangan yang dihiasi gelang, jari-jemari yang diperindah dengan cincin-cincin, dan parfum yang dioleskan ke tubuh dan pakaian. Semuanya dipersembahkan di hadapan umum, seolah si wanita berkata, “Lihatlah aku, pandangilah aku…”. Wallahul musta’an.

Semua ini jelas merupakan perbuatan tabarruj yang dilarang dalam Al-Qur`anul Karim. Namun betapa jauhnya manusia dari bimbingan Al-Qur`an!!! Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang para wanita bertabarruj. Namun mereka justru bangga melakukannya, mungkin karena ketidaktahuan atau memang tidak mau tahu.

Bisa jadi ada yang menganggap bahwa larangan tabarruj ini hanya ditujukan kepada istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka yang menjadi sasaran pembicaraan dalam ayat 33 dari surat Al-Ahzab di atas. Jawabannya sederhana saja. Bila wanita-wanita shalihah, wanita-wanita yang diberitakan nantinya akan tetap mendampingi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga, para Ummahatul Mukminin yang suci itu dilarang ber-tabarruj sementara mereka jauh sekali dari perbuatan demikian, apatah lagi wanita-wanita selain mereka yang hatinya dipenuhi syahwat dunia. Siapakah yang lebih suci, istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah mereka? Bila istri-istri Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan cerminan shalihah bagi wanita-wanita yang bertakwa itu diperintah untuk menjaga diri, jangan sampai jatuh ke dalam fitnah4 dan membuat fitnah, apalagi wanita-wanita yang lain.

Kalau ada yang menganggap larangan tabarruj itu hukumnya khusus bagi istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka adalah pendamping manusia pilihan, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, sementara wanita-wanita selain mereka tidak memiliki keistimewaan demikian, maka kita tanyakan: Dari sisi mana penetapan hukum khusus tersebut, sementara alasan dilarangnya tabarruj karena akan menimbulkan fitnah bagi laki-laki?
               
Laki-laki yang memang diciptakan punya ketertarikan terhadap wanita, tentunya akan tergoda melihat si wanita keluar dengan keindahannya. Bila tidak ada iman yang menahannya dari kenistaan, niscaya ia akan berpikir macam-macam yang pada akhirnya akan menyeretnya dan menyeret si wanita pada kekejian. Bila tabarruj dilarang karena alasan seperti ini, lalu apa manfaatnya hukum larangan tersebut hanya khusus bagi para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah bisa diterima kalau dikatakan para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang tabarruj karena mereka wanita mulia yang harus dijaga, tidak boleh menimbulkan fitnah, sementara wanita selain mereka tidak perlu dijaga dan kalaupun bertabarruj tidak akan membuat fitnah? Di manakah orang-orang yang katanya berakal itu meletakkan pikirannya? Wallahul musta’an.



Al-Imam Abu Bakr Ahmad bin ‘Ali Ar-Razi Al-Jashshash rahimahullahu menyatakan bahwa beberapa perkara yang disebutkan dalam ayat ini (Al-Ahzab: 33) dan ayat-ayat sebelumnya merupakan pengajaran adab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjagaan terhadap mereka dan seluruh wanitanya kaum mukminin juga dituju oleh ayat-ayat ini7. (Ahkamul Qur`an, 3/471)

Surat An-Nur ayat 60 juga menunjukkan bahwa larangan tabarruj tidak hanya khusus bagi ummahatul mukminin, namun berlaku umum bagi seluruh mukminah. Bila wanita yang sudah tua dan sudah mengalami menopause saja dilarang tabarruj sebagaimana dalam ayat:

 غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِيْنَةٍ

Dengan tidak bermaksud tabarruj dengan perhiasan yang dikenakan…” (An-Nur: 60)
tentunya larangan kepada wanita yang masih muda lebih utama lagi.
Wanita yang keluar rumah dengan tabarruj hendaknya berhati-hati dengan ancaman yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut ini:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wanginya surga padahal wanginya surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)

Kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencirikan wanita ahlun nar itu dengan (كَاسِيَاتٌ) maksudnya mereka mengenakan pakaian, akan tetapi mereka itu (َعَارِيَاتٌ) “telanjang”, karena pakaian yang mereka kenakan tidaklah menutupi aurat mereka dengan semestinya. Bisa jadi karena pakaian itu tipis, ketat, atau pendek. Mereka itu مَائِلاَتٌ menyimpang dari jalan yang benar, مُمِيْلاَتٌ menyimpangkan orang lain dari kebenaran karena fitnah yang dimunculkan dari mereka.
رُؤُوسُهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ “rambut/kepala mereka seperti punuk unta yang miring”, karena rambut mereka ditinggikan hingga menyerupai punuk unta yang miring.” (Taujihat lil Mu`minat Haulat Tabarruj was Sufur, hal. 18)

Kedua golongan di atas belum ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun sekarang telah kita dapatkan. Hal ini termasuk mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana apa yang beliau kabarkan pasti terjadi. (Al-Minhaj, 14/336)


Yang perlu diingat, tidaklah satu dosa diancam dengan keras melainkan menunjukkan bahwa dosa tersebut termasuk dosa besar. Sementara wanita yang keluar rumah dengan berpakaian namun hakikatnya telanjang, yang bertabarruj, berjalan berlenggak lenggok di hadapan kaum lelaki hingga menjatuhkan mereka ke dalam fitnah, dinyatakan tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga.